Inews Nanga Bulik- Negara China dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, tengah diguncang oleh krisis multidimensi yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak era reformasi ekonomi dimulai empat dekade lalu. Perlambatan ekonomi yang kini menyebabkan resesi serius, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, serta pemutaran kebangkrutan perusahaan telah menciptakan badai sempurna yang mengguncang fondasi sosial-ekonomi negeri Tirai Bambu. Di tengah badai ini, kredibilitas dan ketangguhan pemerintahan Xi Jinping sedang diuji secara terbuka—di mata rakyatnya dan dunia internasional.
Dari Mesin Pertumbuhan Global Menjadi Titik Rentan Ekonomi Dunia
Selama dua dekade terakhir, Tiongkok tampil sebagai kekuatan ekonomi yang tak tertandingi. Lonjakan urbanisasi, industrialisasi massal, dan ekspansi kelas menengah mendorong narasi bahwa Tiongkok adalah “mesin pertumbuhan global.” Negara China ini mendongkrak permintaan komoditas, menopang perdagangan internasional, dan menjadi episentrum manufaktur dunia.

Baca Juga: Pelajar SMAN 3 Bulik Diedukasi Bahaya Kekerasan dan Judi Online oleh Polisi
Namun kini, narasi itu mulai runtuh. Editorial Maldives Insight menyebutkan, kombinasi PHK massal, kehancuran konsumsi, serta kebangkrutan yang merajalela telah menggoyahkan mitos ketangguhan ekonomi Tiongkok. Indikator-indikator ekonomi kian suram, dan pertumbuhan PDB yang dulunya stabil di atas 6% kini terseok-seok di bawah 3%.
Gelombang PHK melanda hampir seluruh sektor industri. Dari pusat manufaktur Guangdong hingga pusat teknologi Shanghai dan Beijing, ribuan perusahaan memangkas tenaga kerja dalam skala belum pernah terlihat sejak awal tahun 2000-an.
Raksasa teknologi seperti Alibaba , Tencent , dan ByteDance mengambil bagian dalam krisis ini. Sektor yang dulunya menjadi simbol kebangkitan inovasi digital Tiongkok kini lesu, dihantam oleh regulasi regulasi, ekspektasi pasar yang merosot, dan iklim usaha yang semakin tidak pasti. Tetapi yang lebih menyedihkan, krisis ini tidak berhenti di sektor teknologi. Industri properti , yang menyumbang hampir 30% terhadap PDB nasional, telah menyusul kegagalan para pengembang besar seperti Evergrande dan Country Garden .
Lebih jauh lagi, perusahaan milik negara , yang selama ini menjadi tulang punggung stabilitas tenaga kerja, kini juga melakukan PHK diam-diam demi menyeimbangkan neraca keuangan. Ribuan pabrik tutup, meninggalkan puluhan ribu buruh dalam penjara. Usaha kecil dan menengah (UKM), yang selama ini menopang lapangan kerja dan dinamika ekonomi lokal, banyak yang gulung tikar. Kurangnya akses terhadap kredit serta jatuhnya permintaan membuat mereka tidak berdaya.